Novel Setengah Buku

Setengah Buku Setengah Buku Mega merah sejak mulai menampakkan warnanya. Seluruh orang sejak mulai berlindung ke gubuknya buat berkumpul bersama sanak keluarga. Tapi, tidak tercantum istilah itu dalam kamus Panji, satu orang pujangga berkepala batu ini. Hari-harinya dirinya habiskan dalam lokasi pengap penuh asap rok*k, oleh kawan-kawan mudanya. Telah 5 thn ini, diatidak menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Tidak Sedikit kalimat yg terngiang di telinga selagi mengingat periode lampau, &tidak satu pulaygsanggup ditelaah olehnya. Cuma rasa dendam yg membaluti hatinya. Tapi, perjalanan hidup baru bersama 2 sohib karibnya, sudah menipiskan balutan dendam pasal prahara itu. 

Suatu gitar terpetik oleh jemari lihai Panji. Teriringi satu buah lagu bergenre rock oleh Alex, yg memenuhi tiap-tiap segi ruang. Suasana makin menyeruak, selama diambilnya gulungan kertas yg dimanfaatkan Alex juga sebagai mik. Deni yg semula cuma duduk manis menghisap sepuntung rok*k, membuang free rok*k yg apinya baru saja di pucuk. Bagai dalam tempat auditorium, mereka berteriak-teriak sekedar memenuhi kepuasan hati. Sesuatu tidak wajar memang lah tidak bersi teguh pass lama. Satu per satu dari mereka melemparkan badannya ke ranjang. Tapi, tak buat Panji. Dia cuma menyaksi bisu tingkah rekan-rekannya. Wajar, dia cuma berperan sbg gitaris bukan vokalis on fire seperti mereka. Suatu sejarah tidak dirasa oleh Panji, tapi disaksikan oleh Alex & Deni. Sehelai bulu mata Panji, tiba-tiba terjatuh ke tulang pipinya. 

“Wah, Nji. Orang Jawa bilang, jika bulu mata kita ada yg jatuh, itu berarti ada satu orang perindu yg merindukan kita.” Tutur Deni sembari membawa sehelai bulu mata Panji. “Serius? Beruntung banget lo, Nji.” Sahut Alex. 

 Tapi, tidak satu juga respon yg sepihak dgn hati Panji. Beliau beranjak dari ranjang & keluar. Lantaran tingkah anehnya, Alex & Deni cuma terpaku. Tidak Sedikit yg sanggup di lihat Panji dari balkon ruangan kamarnya. Posisinya yg tinggi, mengalihkan julukan rusun tidak terpakai ini jadi ruangan indah penuh makna. Taburan bintang juga Sang Dewi Tengah Malam, sudah mengingatkannya kepada satu orang perindu yg sudah menjatuhkan bulu matanya. Di tengah dunia nostalgianya, satu buah benda mematuk kepalanya dari arah kamar. Seketika, dia melontarkan kata kasar terhadap ke-2 sahabatnya. Tetapi itu bukan sesuatu yg asing bagi mereka. 

Setengah Buku


“Nji, lo itu mengapa sih? Tingkah lo aneh.” Kata Alex. “Cari target.” Balas panji lesu & masuk ke kamar. 
Kegundahan hati Panji makin menggebu dikala disaksikannya Deni yg mengupayakan mengakses kotak penuh misteri itu. Benar-benar tidak satu pula orang diperkenankan menyentuh kotak itu tidak hanya beliau, bahkan sahabatnya sekali pula. Genggaman tangannya bersiap menghantam badan Deni. Tapi, bersama serentak dihentikan oleh Alex. “Kita sohib, tetapi gue ataupun Alex, sama sekali tak sempat tahu isikan kotak ini. jangan gara-gara suatu kotak tidak bermanfaat ini, pertalian kita menjadi renggang.” Papar Deni kecewa.
Tidak Dengan berbicara apa pula, Panji membawa jaket hitam miliknya & keluar. Alex & Deni cuma bisa mengusap wajah disaat menyaksikan tingkah aneh sahabatnya. Di depan loket antrean kereta di stasiun Gambir, Panji berdiri melawan sepi. Pandangannya tetap terfokus terhadap selembar jadwal keberangkatan kereta. Entah apa yg mengitari pikirannya. Tidak sesekali, kalimat teguran security menerpa beliau. Tetapi tidak satu serta yg dapat menggoyahkan tekadnya. Bahkan, hembusan angin tengah malam serta tidak kuasa menyenggol tubuhnya. Musim tengah malam sudah terenggut oleh disaat. Nada binatang tengah malam mulai sejak teralihkan binatang fajar. Pandangan Panji teralihkan terhadap sepetak photo berfigura yg menyilaukan matanya. Photo funky dgn ke-2 sohib karibnya itu, mengembalikkan alur pikirnya kepada periode lampau. “Percuma Bapakmu ini merawat & membiayai anda jikalau anda menjadi anak yg b*jat & gak bermoral seperti ini! Daripada kau memodel rambutmu sama seperti jalu ayam, cukur habis rambutmu itu! Daripada kau mewarna hitam cuma terhadap bibirmu, hitamkan saja seluruhnya wajahmu. Daripada Bpk sesak melihatmu, langkahkan jauh kakimu!”

Kalimat itulah yg konsisten terngiang di telinganya. Tiba-tiba, Alex & Deni terbangun oleh kilau mentari yg menembus jendela kamar. Panji yg cuma berdiri di dekat pintu kamar, melempar keras bantal terhadap mereka. Seketika mereka mengaung & bersiap menghantam wajah Panji. Tapi, bongkahan amarah mereka seketika luluh dikala disodorkan 3 bungkus nasi uduk oleh Panji.

 “Nggak kemungkinan kan, jika kalian sarapan dalam mimpi? Habisin! Sulit carinya.” “Habis dapet mangsa ya Nji. Cool man, thanks ya, Nji.” Celoteh Deni sembari terhubung bungkusan nasi. Cuma senyuman mungil yg bisa diukirkan kepada raut wajah Panji.

Tidak Sedikit penumpang kereta yg berlalu lalang di stasiun Gambir. Lokasinya yg padat & sarat oleh penumpang, dijadikan jembatan emas bagi para pencopet sejati di antero bumi ibukota. Bagai emas dalam mulut hiu, penuh dampak pastinya. Bukan keramaian namanya jika tidak kelihatan batang hidung ke-3 serangkai ini. Bersama segala penyamaran tidak pasti, mereka beraksi di tengah memucuknya mentari. Tetapi, tidak terlihat Panji kali ini. Entah ke mana perginya pembangkang itu. Pembagian pekerjaan menjadi tidak tersebar rata kali ini. Mereka juga beraksi cuma sepasang. Terkadang, keberuntungan memihak mereka. Tidak jarang, kebuntungan juga melanda. Ketika jarum pendek jam masihlah tidak berdenting pass lama, mereka telah memutuskan kembali ke markas.

Perjalanan, mereka hentikan kala Panji tiba-tiba berdiri di hadapan mereka. Tapi wajah Panji bengkak entah mengapa, yg bisa memahat raut terperanjat terhadap wajah ke-2 sahabatnya. Cuma gelengan & decakan yg sanggup dilakukan Alex & Deni. Tiba-tiba, pandangan mereka teralihkan oleh sesosok perempuan jejaka yg tengah melangkahkan kakinya di hadapan mereka. “Lex, bukannya itu cewek yg tempo hari ya? Tentu rumahnya di kurang lebih sini. Kalu nggak, ngapain jalan kaki?” Bisik Deni kepada Alex. “Iya Lex. Nampaknya sih gitu.” Sahut Panji lesu. “Orang bodoh namanya seandainya tidak membawa emas di depan mata. Ikutin yuk.”

Saat Ini, trayek perjalanan mereka ada di tangan perempuan itu. Bersama cermat, mereka mengaplikasikan prinsip iguana dalam aksinya. Tidak satu pula gerak-gerik mencurigakan, & tidak satu detik serta mereka kehilangan jejak. Suatu istana megah berdiri kokoh di hadapan mereka. Mereka makin percaya bahwa bangunan itu milik target, diwaktu didengarnya kalimat dari perempuan itu, “Papa, Mama pulang.” Kebenaran itu membelalakkan mata mereka & tidak sadar air ludah mereka tertelan. Tetapi, bukan ceroboh yg mengarakteri diri mereka. Alex, Deni, ataupun Panji, berbalik arah & berniat menyusun beraneka taktik buat beraksi.

Nada beberapa ratus jangkrik turut menghiasi gelapnya tengah malam. Suasana sepi, sunyi, & gelap, tidak menciptakan ke-3 serangkai ini menciut nyali. Bersama fasilitas seadanya, mereka mencongkel pintu belakang hunian. Langkah demi langkah, mereka menelusuri tiap-tiap segi hunian. Tapi, sesuatu mengganjal di hati Panji. Tidak Sedikit benda yg dikenalinya. Kakinya tergerak memasuki pintu kamar sesuai di sampingnya. Panji sejak mulai berpikir, berkenaan dua orang tua yg terbaring dalam tempat itu. Di kening mereka, terpahat jutaan beban. Tidurnya yg nyenyak, melukiskan betapa letih mereka hri ini. 

Air mata Panji menetes selagi dilihatnya sepetak poto mungil yg menunjukkan padanya bahwa Panji mungil, berada di antara ke-2 ortu yg terbaring itu. Air matanya tidak kunjung henti. Hatinya menggebu tidak tertunda. Diciumnya ke-2 kening ortu itu penuh kerinduan. Tidak ada lagi yg sanggup dirinya jalankan tidak hanya mengganggu istirahat mereka. Ditutupnya pintu lokasi itu dari luar. Matanya yg merah, tidak memberhentikannya buat menelaah bangunan itu. Pandangannya terfokus terhadap photo pernikahan yg tergantung di dinding. Beliau terperanjat selagi menyaksikan perempuan yg sudah membawanya ke silakan, duduk di singgasana pelaminan dengan lelaki yg pernah memanggilnya “Kakak”. Matanya berkaca-kaca, dadanya makin sesak. “Haruskah saya laksanakan ini diatas senyuman bahagia mereka? Bolehkah ku libatkan disaat utk pertanyaanku ini?” bertanya Panji dalam hati seraya tetap memandangi poto itu. Hati Alex, Deni, ataupun Panji diselimuti rasa bahagia disaat memperbincangkan gagasan mereka buat menominalkan 1 satuan sepeda gunung yg diambilnya dari hunian megah itu. 

Di tengah sejumlah area penghilang penat, penduduk ibukota lebih pilih kantor polisi buat isi saat luangnya di siang ini. Tidak Sedikit orang yg mengantre utk mengadukan ketidaknyamanan mereka. Nampak seseorang berselimutkan baju hartawan kumplit bersama body guardnya, mengadu ngotot pada aparat, hingga urat lehernya tampak. “Bagaimana ini, Pak! Telah berapa thn kamu bertugas, keadaan daerah sendiri tak tahu? Nama restoran populer aku menjadi tercemar gara-gara mempekerjakan pencopet ibukota. Markas-markas pencopet, kamu tak tahu? Waktu Ini kami menjadi korban, terkena pencemaran sampah ibukota!” 

 Hartawan itu konsisten naik darah dalam area. Ada satu orang lagi yg melapor terhadap aparat mengenai maling ibukota. Rambut klimisnya menandakan bahwa dia seseorang yg rapi, seragam kantornya penanda bahwa dia pekerja kantoran. “Pak, aku mau melapor, bahwa hunian aku sudah dirampok. Menurut kesaksian tetangga aku, tersangka yaitu sekelompok copet yg bermarkas di rusun tidak terpakai di kira kira Stasiun Gambir. Satu Buah sepeda gunung sudah hilang 2 hri dulu, & satu buah tv pun hilang tadi tengah malam. Satu lagi, perhiasan emas istri aku serta hilang. Aku mohon penaganannya.” Lapor satu orang punya rambut klimis itu.

 Penggerebekan markas pencopet di rusun tidak terpakai, sudah dilakukan. Dgn diikuti pelapor korban pencurian itu, penelusuran kediaman para copet itu tidak terlampaui memuaskan. Ruangan penggerebekan berujung nihil. Tidak terhembus satu serta napas pelaku dalam ruangan penggerebekan, disaat itu. Pandangan lelaki punya rambut klimis itu tertuju terhadap satu buah kotak misterius yg bakal di buka kuncinya oleh polisi. Sebahagian gede, barang di kotak sudah usang. Tetapi suatu benda semacam buku dairy, nampak tetap tidak jarang tersentuh. Tidak pernah membaca, dirinya mengambil pulang kotak itu, beserta isinya.

Kehadiran Alex, Deni, & Panji dikejutkan oleh kegiatan para polisi di hunian mereka. Mereka bersiap buat lari ketika polisi menembakkan senapan ke hawa. Tapi, luncuran peluru menghampiri kaki Panji. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, keringat dingin memenuhi sekujur tubuhnya. Tidak tidak sedikit yg sanggup dilakukan Alex & Deni, sampai Panji berikan mereka sinyal buat meninggalkannya. 

Dalam pilu, Panji diinterogasi tidak sedikit oleh polisi. Tidak sesekali, balutan perban di kaki membuatnya tidak sanggup menjawab pertanyaan bersama sempurna. Di dalam hunian megahnya, lelaki punya rambut klimis itu duduk diatas kursi empuk kamarnya. Tangannya tergerak buat terhubung lembar demi lembar buku dairy temuannya. Sampai dirinya tertarik oleh satu buah halaman berukirkan angka 16 di pojok kanan bawah. Dibukanya lagi lembar kemudian. Tetapi, cuma kosong yg dirinya sanggup. Dilihatnya lagi lembar pada awal mulanya. Bersama penuh penghayatan, dibacanya kumpulan kata di halaman itu. Wajahnya, kerut keningnya, bisa meneteskan air mataku. “Keduanya yaitu sosok penjatuh bulu mataku, ku tahu itu. Satu sektor lagi, tidak pernah ku pandang wajahmu. Cuma dari photo keluargamu. Kau bahagia & tenteram waktu ini, ku tahu itu. Dua hri dulu, ku ambil sepeda itu darimu. Kau ingat? Menahun saya menabung untuknya. Tadi tengah malam, saya kembali ke rumahmu. Ku peluk erat keduanya. Lagi, air mataku mengalir pelan.” 

“Juga ku ambil tv butut dari sana. Kau ingat? Betapa bahagianya saya dikala ku dapatkannya dari hadiah undian. Tidak Sedikit hutang yg mesti ku lunasi. Tidak Sedikit korban yg belum pernah ku datangi. Maaf sudah meresahkan keluarga harmonismu. Namun ku tahu, tidak mungkin saja kau mendengar jerit rindu hatiku.” Lelaki itu mulai sejak menitikkan air mata. Sampai tertanda, lembaran itu olehnya. Rasa bersalah menciptakan lembaran-lembaran itu terbuka. Tangannya macet oleh suatu paragraf di dua lembar diawal mulanya.

“Stasiun itu penuh makna bagiku. Di waktu dua belahan jiwaku ini tidak menolehku, ku jalankan kerja ini. Paruh dikala saya melakukannya. Meskipun cuma jasa cuci piring, setidaknya saya bekerja di restoran populer. Ku kembalikan yg bukan hak karibku dari hasilku. Setidaknya, tidak tidak sedikit mereka menelan barang haram. Serta tidak jarang ku berdiri di sana memandang jadwal kereta. Kerinduanku sudah memuncak. Mau ku mendengar suaramu. Hri itu ku beli sepasang mukenah sutera yg dahulu kau mau. Bakal ku bawa itu ke Djogja.” 

Panji yg duduk termenung dalam jeruji besi itu tetap memikirkan nasib ke-2 sahabatnya. Di sudut lain, keberadaan keluarga pula turut mengitari pikirannya. Dinding sel tahanan memang lah dingin, hingga tidak kuasa beliau menyandarinya. Cuma berbalut dekapan tangannya, dirinya menahan. Diingat kalimat-kalimatnya di musim dulu, yg beliau sadari sbg penyebabnya bertekad buat tidak kembali.

“Dari lalu saya tidak sempat mendapat pujian. Cuma anak mungil ingusan itu yg kalian puji. Pandai, kasep, penurut, pendiam, bahkan jujur. Tetapi kau tak tahu, pendiamnya dia ialah kebohongannya. Tidak berani dia mengemukakan kesalahan yg beliau perbuat. Sekali pula saya jujur, kalian dapat memarahiku habis-habisan. Hei, kau! Kebencianku terhadapmu tidak sempat padam. Janganlah sempat menunjukkan wajahmu padaku. Basic anak mungil!” Itulah kalimat yg pernah dirinya lontarkan ketika 5 thn dulu. 

 Di tengah pikirannya yg membludak, nada langkahan kaki menghampirinya. Tidak pernah dia menengok wajah itu. Seseorang polisi memberikan suatu buku yg dia kenal, kumplit bersama sebatang bulpoin hitam di sampingnya. Bersama lesu beliau menerimanya. Nyata-nyatanya, buku itu yakni buku yg kerap digunakannya utk menorehkan mengisi hatinya. Pernah dirinya tanya macam mana bukunya sanggup berada di tangan polisi itu. Dibukanya halaman yg dulunya kosong, sekarang ini terdaftar sekumpulan kata. 

“Telah ku tuntaskan larik-larikmu. Waktu Ini saya tahu pola hidup kakakku. Namun terus, tak mau sempat ku tampilkan wajahku. Pertanyaanlah yg menggerakkan tanganku buat posting paragraf ini. Demikian mau saya memahamimu lebih dalam, kenapa cuma 16 lembar yg kau catat? Waktu Ini kau tahu keberadaan kami, mengapa tidak terhubung identitas saja terhadap Bpk & Ibu? Maafkan saya sudah jelek sangka padamu. Saya tahu kau cuma membawa barang milikmu sendiri. Namun saya tetap belum mengerti, mengapa kau pun membawa perhiasan istriku?” 

Novel Setengah Buku


 “Bukan apa-apa, tetapi itu perhiasan turun temurun dari keluarga istriku. Jika kakak memang lah membutuhkannya, ku beri berapa pula yg kau perlukan. Tetapi tidak ku pahami kalimat di lembar ke-8 mu, ‘Ku harap sanggup ku tahan rasa sakit ini, sampai ku bisa penawar buat memperpanjang hidupku, agar lebih lama saya dengan mereka.’ Apa tujuan kalimatmu itu? Saya rindu padamu, Kak. Alangkah bahagianya saya kalau kau membalasnya. Berikanlah bukumu terhadap polisi yg ada. Dapat ku jemput balasanmu. Salam rindu.” 

Panji cuma terdiam. Diletakkan buku itu di sampingnya. Dipalingkan pandangannya dari buku itu, seakan tidak tertarik lagi utk menyentuhnya. Tapi, dia beralih pikiran. Dirinya membawa buku itu & mulai sejak posting. Sesudah posting, dia memberikan kepada polisi buku yg baru saja beliau catat buat adik semata wayangnya, yg dia tuliskan di halaman terakhir bukunya. “Aku bahagia, sekarang ini kau yg memulainya. Bakal ku jawab pertanyaanmu.” 

“Sebenarnya, itu bukan 16 lembar, namun 17. Kau mungkin saja tidak menyadari bahwa cover buku ini pun menunjukkan mengisi hatiku, “Please give me a hug!” Memang Lah ku untuk genap jadi 17 lembar. Kau taju angka 17? 17 yaitu angka seorang dikatakan beranjak dewasa. Dgn kalimat-kalimatku dalam 17 lembar ini, ku tampilkan terhadap dunia bahwa saya bukanlah anak mungil lagi yg tidak tahu apa-apa, yg polos pikirannya. Saya bukanlah seorang yg tidak tahu diuntung seperti dahulu lagi. Saat Ini bukti & kebijakan yg ku tahu. Namun manusia tidak dapat luput dari kesalahan. Maaf tidak membalas seluruh.” Hri demi hri sudah berlalu. Dari sela-sela kokohnya jeruji besi, Panji menonton 2 orang yg teramat dekat dengannya. Alex & Deni hasilnya muncul di hadapannya. Mereka menghampiri Panji & melepas kerinduan di antara mereka. Polisi mengakses sel tahanan & mengijinkan mereka melepas rindu. Tidak Sedikit percakapan penuh ekpresif oleh Alex & Deni. Walau wajah Panji pucat, namun dirinya bahagia sebab teman-temannya. 

Tidak Sedikit disaat yg mereka habiskan utk itu. Tetapi, seseorang polisi menghampiri mereka & memberitahu bahwa dikala sudah habis. Anehnya, bukan Panji yg dimasukkan kembali. Borgol mengikat ke-2 tangan Alex juga Deni. Mereka diboyong ke dalam jeruji besi yg sama. Panji cuma terpaku dgn kejadian tidak terduga itu. Sebelum mereka masuk dalam sel tahanan, Alex berbisik, “Aku & Denilah yg membawa perhiasan istri Adikmu.” 

Tiba-tiba, Bpk, ibu, adik Panji pula istrinya, menghampiri Panji. Dipeluknya erat tubuh Panji oleh ibu & bapaknya. Berkali-kali tetesan air mata menetesi punggungnya. Tetapi keadaan Panji tidak lagi baik. Dirinya terdiam lemas diwaktu di pelukan ibunya. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas, tangannya serta dingin. Seketika beberapa orang di sana berteriak atas kejadian itu, tidak selain Alex & Deni dalam sel. Langsung Panji dilarikan ke hunian sakit. Tetapi, bisa saja Tuhan lebih menyayanginya. Dgn mukena sutera buah tangan dari anak sulungnya, ibu Panji mengaji buat Panji. Dalam haru, adik Panji mengaji disamping Panji yg tidak bernyawa itu. Demikian dia sadar bakal sesuatu, beliau menghentikan aktivitasnya & memandang kosong wajah Panji. “Inikah jawabanmu atas pertanyaan keempatku?” bertanya adik Panji dalam hati. 

Dalam sunyinya kursi kunjungan dalam kantor polisi, tergeletak buku dairy Panji yg kerap digunakannya. Angin terhembus terhubung lembaran-lembaran bukunya. Sampai terbuka satu buah halaman bersama font beformat italic & bertinta merah. “Aku telah membaca seluruhnya perasaanmu, Nak. Lembaran-lembaranmu makin membuatku & Bapakmu rindu kepadamu. Sejatinya, kau yakni orang yg baik.”

 “Kau membawa 999 perbuatan mulia dibawah 1 keburukanmu. Saat Ini, kami menemukan titik jelas namamu, “Panji” yg dalam bahasa Jawa berarti yg dikasih kelebihan. Inilah kelebihanmu, tidak dapat membiarkan beberapa orang di sekitarmu menderita. Namun, kami khawatir dgn lembar ke-8 mu. Namun kami pun tahu, kau merupakan sosok yg tegar. Salam rindu, Ibu & Bapakmu.”

0 comments on Novel Setengah Buku :

Posting Komentar